Minggu, 25 Agustus 2019, tepat di ujung Kecamatan Segah, kami menempuh jarak tempuh lebih kurang 6 jam dari Tanjung Redeb. Kami disambut kokohnya gapura dengan tulisan “Selamat Datang di Kampung Punan Mahkam” dengan beberapa corak khas Dayak dan beberapa simbol berupa burung. Terdapat tulisan lain tepat di bawah salah satu tiang gapura tersebut bertuliskan “Du; ngal pan pa; pan a’li blom” yang memiliki arti “Jangan berharap dalam menjalani hidup” atau mengandalkan sesuatu pada keadaan dan orang lain dalam menjalani hidup. Sekitar 15 menit dari gapura tersebut, kami baru melihat tanda-tanda pemukiman dengan adanya pos ronda di sebelah selatan kampung. Hanya ada satu akses darat yaitu jalan utama yang kami lalui ini, selain itu kampung ini dapat diakses melalui sungai, dengan adanya dermaga kampung. Permukiman di jalan utama, saling berhadapan mengikuti jalanan dan berakhir di pusat kampung yang terdiri dari bangunan Sekolah Dasar, kantor PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga), kantor Sekolah Rakyat dan kantor BUMK (Badan Usaha Milik Kampung) di sisi kanan dari arah kami dating dan di sisi kiri terdapat Gereja, pendopo dan rumah singgah yang digunakan oleh kami sebagai penginapan. Pusat Kampung Punan Mahkam ditandai dengan tiang berupa Totem dengan corak khas Dayak dan di puncak tiang tersebut terdapat Lambang Burung Gah sebagai identitas kampung.
Selain fasilitas umum di atas, pada bagian utara kampung terdapat beberapa fasilitas seperti bangunan PAUD (pendidikan anak usia dini), lapangan voli, kantor kepala desa, lapangan sepak takraw, kantor karang taruna, masjid dan puskesmas. Penduduk di Kampung Punan Mahkam berjumlah lebih kurang 300 orang, dengan 80 kartu keluarga. Mayoritas bentuk rumah di sini merupakan rumah panggung. Seperti kebanyakan warga Dayak lainnya, penduduk kampung sering pergi ke hutan untuk berburu dan mencari makanan, sehingga saat siang hari kami merasakan bahwa kampung ini terlalu sepi. Kampung ini di lalui Sungai Pay sehingga warga kampung bisa melakukan perjalanan sungai apabila ingin pergi ke hutan. Kami berkunjung selama enam hari dan beruntungnya karena tahun ini sedang musim buah di hutan.

Sesampainya di rumah singgah, kami bertemu dengan beberapa pemuda yang menghampiri kami di depan pendopo menggunakan motor dan membawa parang, mereka merupakan pemuda yang tergabung dalam Karang Taruna Kampung dan mengikuti Sekolah Rakyat. Pemuda-pemuda tersebut membantu kami membawakan beberapa barang menuju rumah singgah. Kami mulai melihat-lihat dari balkon rumah mengenai keadaan kampung yang sepi dan hanya ada pemuda-pemuda tersebut. Kami memulai percakapan dengan beberapa pemuda dan rekan kerja kami dari Ruang Inovasi, namun pemuda-pemuda tersebut masih menunjukkan perasaan malu. Tujuan kami Wanderlust Indonesia ke Kampung Punan Mahkam adalah membantu Sekolah Rakyat dan Ruang Inovasi dalam pengembangan kampung mereka menjadi pariwisata berbasis masyarakat. Beberapa pemuda lainnya datang membawakan kami, buah-buahan seperti durian merah dan hijau dan rambutan hutan. Hari pertama kami habiskan dengan percakapan di sore hari dan malam harinya kami melakukan perkenalan awal yang lebih formal dan membicarakan agenda esok hari untuk melakukan assessment potensi wisata.
Hari Senin, 26 Agustus 2019, perjalanan kami dimulai pukul 07.00 WITA menuju kawasan hutan lindung. Potensi wisata pertama yang kami kunjungi adalah Utau Tambang yang memiliki arti Batu Tertutup, berlokasi di Sungai Mengging. Untuk memasuki Utai Tambang, kami perlu menuruni jalan setapak menuju sungai tepat di bawah jembatan. Air sungai memiliki air yang jernih, kami melakukan susur sungai selama kurang lebih satu setengah jam. Kami melalui aliran sungai yang cukup tenang dan dangkal, terdapat beberapa pepohonan yang jatuh sehingga kami perlu menunduk dan menaiki pohon tersebut dan beberapa jalur mengharuskan kami memasuki hutan. Terdapat batu-batu alam yang mempercantik pemandangan sepanjang jalur, dan beberapa aliran sungai sedalam pinggang orang dewasa. Mendekati spot Utau Tambangnya kami menaiki beberapa bebatuan berbentuk gua, cukup licin dan air cukup deras, dan diujung jalur ini terdapat air terjun sehingga kami harus naik melalui tebing dengan semak-semak dan pepohonan samping air terjun. Setelah melalui air terjun tersebut kami disuguhkan sebuah baru besar hampir menyerupai jamur sehingga kami yang berada di bawah batu tersebut merasa sedang di dalam gua, ini merupakan titik akhir dari kegiatan susur sungai ini, walaupun penduduk asli sana mengatakan bahwa Utau Tambangnya sendiri masih sekitar 1,5 km dari situs itu, namun akses menuju kesana masih belum layak dilalui. Kami beristirahat di spot ini, sebelum kami kembali, di atas bebatuan ini terdapat hamparan luas batu yang dikatakan banyak semak-semak di atasnya.

Perjalanan kami berlanjut menuju situs Jiram Muara Tehe, kurang lebih 15 menit dari Utau Tambang, dengan menggunakan mobil kami melalui jalan yang menurun dan menaik di tengah hutan. Sesampainya di Muara Tehe, kami disambut beberapa pemuda tepat di pinggir sungai yang sudah mempersiapkan makan siang. Tungku api alami terbuat dari batu yang ditumpuk sudah siap untuk digunakan, tak lama datang sebuah ketingting (perahu tradisional) berisikan 2 pemuda yang sudah menangkap ikan dari suatu tempat. Semua melakukan tugas-tugasnya dalam kegiatan memasak ini, kami menunggu dengan duduk berkumpul dikarenakan kami masih berkeadaan kotor dan basah. Beberapa orang membungkus nasi dalam daun pisang, adapula yang memasak lauk pauk, sebagian lagi menunggu di beberapa tempat berbeda-beda seperti di bebatuan, pinggir sungai dan di atas ketingting. Menu siang ini adalah ikan goring dan tumis sayur pakis. Selesainya makanan dibuat, kami langsung makan bersama di pinggir sungai tersebut, sembari mengobrol kecil. Tak lama dari itu kami melanjutkan perjalanan kami berikutnya.

Jiram Muara Tehe merupakan suatu aliran sungai yang biasa dilalui warga Punan Mahkam. Kami dibagi ke dua ketingting untuk melakukan jiram ini, terdapat dua pemuda Punan Mahkam tiap ketingtingnya, satu sebagai pengemudi dan lainnya sebagai juru batu (yang mengarahkan pengemudi apabila ada batu). Kurang lebih 30 menit kami berada di jiram ini, beberapa spot meningkatkan adrenalin kami dan terdapat pula spot yang alirannya tenang. Kiri dan kanan kami dirimbuni pepohonan, banyak buah-buahan yang terlihat disana, terdapat pula beberapa tempat yang memiliki gunukan pasir dan batu untuk berhenti. Di perjalanan kami berpapasan dengan warga yang sedang dan akan pergi berburu. Kami disuguhkan keindahan alam yang menenangkan tapi dibawa dengan teknik mengemudi yang membuat kami ingin berteriak di tempat dengan aliran deras. Terkadang kedua ketingting ini saling menyalip seperti suatu balapan. Akhirnya kami sampai di suatu dermaga kampung, sebuah gunukan pasir seperti di pantai dimana terdapat suatu dermaga dibagian atas yang dilengkapi beberapa anak tangga. Sore hari kami sampai di kampung dan kembali ke rumah singgah, untuk bersih-bersih dan mempersiapkan assessment berikutnya di malam hari. Setiap sore para pemuda berkumpul di lapngan voli untuk berlatih dan bermain voli, dan berkumpul kembali di rumah singgah pada pukul 7 malam. Malam itu kami mengobrol santai dengan para pemuda mengenai evaluasi kegiatan siang tadi, dan kami bertemu dengan Kepala Kampung dan membicarakan mengenai kegiatan diskusi esok hari.
Diskusi kelompok dilakukan pada tanggal 27 Agustus 2019, dihadiri oleh pemuda Sekolah Rakyat, Kepala Kampung dan KAUR Pemerintahan. Kami membicarakan pandangan dan harapan kampung Punan Mahkam pada pengembangan pariwisata. Para tetua kampung berharap dengan adanya pariwisata akan menjadikan sumber pendapatan baru bagi kampung khususnya pada generasi mendatang dan pariwisata dapat membantu menjaga hutan lindung mereka. Diskusi ini berlangsung selama dua jam, dan kami akhiri untuk persiapan assessment potensi wisata kedua yang akan dilakukan di sore hari. Kami beristirahat menunggu pukul 3 sore. Beberapa pemuda sudah mengabarkan keikutsertaan mereka pada kegiatan nanti sore, begitu pula beberapa tetua yang tadi ikut diskusi. Belum pukul 3, terlihat semua pemuda kampung sudah siap berangkat dan berdatangan ke rumah singgah, melihat itu kami segera bergegas mempersiapkan peralatan, Perjalanan yang ditempuh sampai lokasi kemping sekitar 2 jam, kami menggunakan 2 mobil bak terbuka untuk pergi kesana. Di perjalanan kami hanya melihat hutan dengan jalanan bertanah merah terkadang banyak hewan liar melintas dengan cepat seperti babi hutan dan kancil. Beberapa kali kami berhenti untuk beristirahat, kami melihat-lihat apakah ada bebuahan di sekitar tempat kami beristirahat. Semua warga Punan Mahkam yang ikut menunjukkan kami sebuah sarang lebah yang menggantung di pohon yang sangat tinggi, kami pun langsung ingin melihatnya, namun perlu waktu lama untuk menemukan lokasi sarang itu berada karena tidak terlalu terlihat, semua orang berusaha mengarahkan kami untuk melihat sarang tersebut.
Rasa antusias kami masih tinggi terhadap sarang lebah, selama melanjutkan perjalanan jika kami melihat sesuatu seperti sarang lebah kami langsung tanyakan kebenarannya kepada warga. Semua yang kami lihat ternyata bukan sarang lebah, beberapa merupakan sarang beruang madu. Banyak sekali sarag beruang madu, mengingat sedang musim madu kali itu. Dan sesampainya kami di tempat kemping, beberapa warga langsung mendirikan tenda yang terbuat dari terpal yang ditopang delapan tongkat kayu di sisi kanan dan kiri dan 3 tongkat di tengah, tidak ada yang menghalangi bagian samping tenda ini. Kami diajak untuk menaiki suatu air terjun yang berada di Sungai Telus. Air terjun ini sangat tinggi namun berbentuk seperti tangga dan terdapat bagian yang terpisah oleh jembatan buatan warga sekitar untuk menjadi akses ke atas gunung yang dapat dilalui mobil besar. Kami menaiki air terjun bagian atas, konturnya yang seperti tangga (berundak-undak) memudahkan kami menaiki air terjun ini, airnya yang bersih dan sejuk karena berada tepat di hilir sungai membuat kami betah bermain disini. Kami berhenti di bagian atas yang sudah tak ada akses untuk naik lebih tinggi lagi. Di tempat ini terdapat tanaman pakis yang besar, membentuk seperti tudung. Kami menghabiskan waktu di air terjun ini sampai senja pun datang.

Malamnya kami isi dengan kegiatan memasak yang dilakukan beberapa perempuan yang ikut. Sebagian pemuda pergi berburu untuk bahan makanan kita malam itu. Saat para perempuan memasak kami bernyanyi bersama pada sebuah dudukan yang dibuat dari beberapa kayu bulat yang saling diikat, beberapa lagu khas Dayak dimainkan, dengan sorotan cahaya bulan dan lentera juga hanyatnya api dari tungku yang dibuat untuk memasak. Para pemuda yang berburu pulang membawa hasil buruan merek, kancil dan beberapa ikan sampan. Beberapa ikan sampan dimasak dengan cara digoreng dan ada juga yang dibakar sedangkan kancil dibumbui terus dibakar. Malam itu kami makan bersama dengan hidangan kancil bakar dan ikan goring dan bakar. Perbincangan kami teruskan sampai malam hari, beberapa pemuda masih bernyanyi lagu-lagu pop yang sangat cocok untuk dinyanyikan di api unggun. Saat larut malam kami tidur berkumpul di tengah-tengah tenda, karena besok tepatnya pukul 4 subuh kami harus melanjutkan perjalanan ke Gunung Lumut untuk melihat matahari terbit dan menaiki puncak Gunung Lumut.

Subuh itu tanggal 28 Agustus 2019, kami sudah terbangun saat masih gelap, dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke Gunung Lumut menggunakan mobil. Sesampainya disana terdapat spot khusus dimana kami bisa melihat dengan jelas matahari terbit. Jigga kekuningan dan bulatan kemerah-merahan menghiasi pemandangan pagi itu, pelan-pelan itu terangkat sampai tertutup kabut kembali, namun samar-samar kami bisa melihat keindahan alam Kalimantan, dengan puncak-puncak bukit dan gunung, dan lekukan sungai-sungai. Semua orang yang berada di tempat ini, siap dengan persenjataan mereka untuk menangkap semua momen yang ada. Sesampainya tertutup lagi kabut, kami memulai pendakian ke puncak gunung. Gunung Lumut dapat diakses dengan mudah dari tempat memandang matahari terbit tadi, dan lokasinya tidak terlalu tinggi hanya menaiki beberapa tebing. Sesampainya di atas terdapat beberapa tanaman endemik dan tanaman yang jarang kami temui, seperti anggrek, dan kantong semar yang banyak di celah-celah bebatuan. Dan sebelum kami sampai ke puncak, kami harus melalui semak-semak tinggi dan beberapa vegetasi pohon dengan kerapatan yang tinggi. Beberapa pohon diselimuti lumut, hal inilah yang menjadikan nama gunung ini Gunung Lumut. Tingkat kelembaban di gunung ini sangat tinggi sehingga benar benar semua vegetasi tumbuhan di sini diselimuti pepohonan. Pemandangan di lokasi yang dipenuhi semak-semak sangat lah indah, dengan beberapa awan dan puncak-puncak bukit yang membentuk hamparan luas. Kami menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang dan berfoto di atas sana.
Kami pun turun dan beristirahat di dekat parkiran mobil, kami menikmati makanan ringan yang kami bawa dan beberapa musik diputar dari mobil menambah rasa kebersamaan kami pada kegiatan assessment potensi wisata terakhir ini. Di perjalanan pulang, kami berfokus mencari buah-buahan yang bisa kami makan selama perjalanan. Pertama kami menemukan pohon rambutan hutan namun bentuknya lebih kecil dan rasa masam serta tekstur buah yang sulit dipisahkan dari bijinya. Kami menikmati ini tepat di pinggir jalan dimana buah ini berada. Salah satu pemuda memanjat pohon untuk mengambil buah-buah ini. Perjalanan berlanjut, beberapa buah-buahan dibekal untuk diperjalanan. Tak lama, beberapa warga menemukan lokasi buah lainnya, rambutan lainnya dengan bentuk yang lebih besar dan berwarna merah namun rasanya lebih manis, dan datang bapak-bapak yang membawakan durian untuk kami santap, kami menggelar tikar di pinggir jalan. Kami pulang kembali ke kampung dengan kondisi kenyang buah-buahan. Kegiatan hari-hari berikutnya kami melakukan pelatihan dan penyusunan organisasi dan pengembangan pariwisata Punan Mahkam.