“Hmm… Membosankan” – Imang (11 tahun)
Jauh di kedalaman hutan Kalimantan Timur, Kampung Punan Mahkam berdiri dengan gagahnya sebagai kampung di ujung Kecamatan Segah. “Long Pay” sebutan penduduk asli untuk kampung tersebut. Hari itu kondisi kampung sangatlah sepi, pemuda yang menyambut kedatangan beberapa pendatang mengatakan bahwa penduduk desa sering melakukan kegiatan di hutan disbanding di kampung, untuk berburu dan mencari bahan makanan lainnya. Di kesorean hari, sepi yang menyelimuti kampung tersebut terpecah oleh suara dari beberapa anak-anak yang sedang berkumpul dan bermain di lapangan voli yang berada sebelah utara pusat kampung. Beberapa pamuda usia 16 – 22 tahun sedang bermain dan berlatih bola voli dan beberapa ibu-ibu menonton sembari menikmati buah-buahan yang telah mereka ambil dari hutan. Lapangan voli ini terdiri dari dua lapangan satu lapangan di sebelah barat dan satunya di sebelah timur.

“Aray”, kata-kata yang sering terlontarkan oleh beberapa anak disana, kata tersebut memiliki arti “Astaga”, untuk mengekspresikan rasa kaget mereka terhadap sesuatu. Tepat pukul 4 waktu Indonesia tengah, anak-anak tersebut bersiap untuk bermain voli. Mereka membagi kelompok menjadi dua kelompok dengan masing-masing kelompok berjumlah 6 orang. Kurang lebih terdapat 18 anak-anak di lapangan voli, 12 anak-anak bermain dan sisanya menjadi penonton dan terdapat pula anak yang bertugas menghitung skor.
Bakat alami anak-anak bermain voli di kampung ini dapat terlihat dari kelihaian beberapa anak dalam melakukan service saat memulai permainan, walaupun tak semua memiliki kemampuan yang baik tapi setidaknya mereka memiliki keinginan yang kuat untuk berlajar bermain voli. Permainan dipenuhi dengan canda tawa serta celotehan anak-anak yang menunjukkan keluguan dan keceriaan mereka. Namun terlihat kecanggungan di antara anak-anak tersebut dengan para pendatang dari luar kampung mereka, kemungkinan mereka masih merasa malu saat bertemu orang lain. Permainan berlangsung sampai pukul 05.30 WITA, anak-anak pun pergi bersama ke suatu tempat yang tidak diketahui. Tak lama dari itu, beberapa anak terlihat kembali terlihat di beberapa tempat, seperti saat mereka berjalan melalui bangunan sekolah dasar dalam keadaan basah kuyup, atau beberapa anak yang melalui Tiang Penanda Kampung yang terletak di tengah kampung dengan keadaan basah kuyup pula.

Hari berganti malam, tak seperti di beberapa kampung lain, yangmana anak-anak tidak akan terlihat di luar rumah mereka dan biasanya akan diam di rumah sampai esok hari. Di kampung dengan jumlah lebih kurang 300 penduduk dan 80 kartu keluarga ini terdapat 2 warung kelontongan yang menyediakan bahan-bahan kebutuhan kampung, dan satu diantara kedua warung tersebut menyediakan pelayanan Wi-Fi. Warung tersebut tidak berbeda dengan beberapa warung di daerah lain, namun apabila dimasuki warung tersebut menyimpan sebuah rahasia. Bentuk warung yang seperti rumah tradisional di Kalimatan yang berbentuk rumah panggung terbuat dari kayu, warung ini memiliki tinggi panggung setinggi orang dewasa, sehingga pembeli atau pengunjung perlu menaiki tangga dengan 8 anak tangga yang terdapat sebuah pagar tinggi di ujungnya, untuk menghalangi anjing memasuki warung. Di bawah tangga terdapat kandang Angsa dan di kolong warung lainnya terdapat kandang Burung Beo. Terdapat beberapa kursi panjang di dekat pagar warung serta meja untuk menjajakan makanan dan minuman di ujung teras warung, serta beberapa merek minuman seduh digantungkan pada dinding warung. Warung tersebut memiliki beberapa rak yang menjajakan barang dan makanan berbeda setiap raknya.
Warung ini memiliki jalan yang terhubung dengan rumah pemilik, dan di sinilah awal rahasia ini terkuak. Awalnya hanya terdapat beberapa pemuda yang sibuk dengan gawainya dan ada pula yang bermain gitar, dan lambat laut bermunculan anak-anak kecil dari jalan yang terhubung itu. Anak-anak mulai membeli makanan dan minuman di sana. Terdapat anak-anak yang langsung menghampiri pemuda bermain gitar dan adapula yang hanya duduk sambal menghabiskan jajanannya. Malam itu terdapat beberapa pendatang di warung itu, terdengar bisikan anak-anak tersebut dalam bahasa daerahnya membicarakan pendatang tersebut. Sampai akhirnya mereka mulai berinteraksi, diawali dengan perkenalan. Beberapa anak perempuan lebih komunikatif saat berbincang-bincang dengan pendatang dibandingkan anak laki-laki.
Perkenalan ini merupakan awal cerita mengenai gadis kecil bernama Imang. Selain Imang, adapula teman-temannya bernama Fitri, Ani, Tantowi, Ryan, Denis, Adam, April, Ridho, Reyhan, Adit, David, dan Ronaldo yang berada di warung itu. Percakapan berlanjut ke topik mengenai cita-cita, setiap anak-anak menyebutkan cita-citanya kebanyakan perempuan ingin menjadi tenaga medis seperti bidan dan dokter, sedangkan anak laki-laki cukup beragam. Imang menjelaskan keinginannya menjadi seorang Bidan, pendatang tersebut menjelaskan tahapan untuk mencapai cita-citanya tersebut dengan cara lulus SD, melanjutkan SMP, SMA dan mengambil pendidikan di perguruan tinggi. Imang dengan penuh semangat menggubris pendatang tersebut “Lah, lama sekali, saya langsung mau sekolah bidan saja!” dengan akses Punannya, gadis kecil itu menjawab, berbeda dengan anak-anak lain yang langsung meng-iya-kan perkataan para pendatang itu akan cita-cita mereka. Percakapan berlangsung lama sampai akhirnya mereka membicarakan mengenai hal-hal di sekolahnya.
Sekolah mereka berada di sebelah timur Tiang Penanda Kampung, terdiri dari 4 bangunan utama, yang terdiri dari bangunan ruang guru, bangunan ruang kelas 1 dan kelas 2, bangunan ruang kelas 3 sampai kelas 6 dan ruangan yang dipergunakan sebagai gudang dan kantin pada awalnya tapi sekarang terbengkalai, terdapat juga 2 bangunan toilet yang terdiri dari 4 kamar kecil, namun sudah tidak terpakai, tepat di tengah – tengah ke empat bangunan ini terdapat lapangan bola dan lapangan voli. Sekolah dasar ini bersebrangan dengan Gereja dan Pendopo Kampung. Tepat di samping pendopo tersebut merupakan penginapan yang digunakan oleh pendatang tersebut.
Pembicaraan mengenai kegiatan sekolah berlangsung setelah pendatang tersebut bertanya mengenai jadwal masuk sekolah mereka. Pendatang tersebut kebingingan dengan jadwal yang tak menentu yang dia lihat sendiri dari penginapannya. Hari senin dimana dia hari pertama dia berada di Kampung Punan Mahkam, dia melihat anak-anak yang sudah siap dengan baju merah putihnya berbaris di lapangan pada pukul 7 pagi untuk melakukan upacara, namun pada hari berikutnya dia tidak melihat satupun anak SD berada di sekitar bangunan sekolah sampai pukul 8 pagi. Anak-anak pun menjawab dengan masih malu-malu, sehingga terdengar seperti gumaman dan terdengar jawaban dari salah satu anak “Sembarang”, anak lain membantu menjawab “Jam 8”, disahut oleh yang lainnya “Jam 9 biasanya” dan Imang yang lebih berani menjawab “Kadang jam 9 kadang jam 8, sembarang lah”. Pendatang ini semakin bingung dan memberikan pertanyaan lagi “Kenapa tidak masuk jam 10 saja?” ucapnya. Semua anak-anak menjawab dengan serentak “Jam 10 istirahat dan jam 11 kami pulang!”.

“Kadang kami di sekolah tidak belajar, karena guru tidak datang” celetuk salah satu anak. “Biasanya guru suka menghukum kalua kita terlambat di hari Senin saja, hukumannya lari keliling lapangan, tapi kalau hari lain tidak mengapa” penjelasan salah satu anak lainnya. Mengetahui kebiasaan penduduk yang sering pergi ke hutan, pendatang bertanya “Kalian sering pergi ke hutan?”, hampir semua anak-anak menjawab iya kecuali anak-anak pemilik warung tersebut, mereka tidak perah berburu di hutan. Pendatang itu pun melanjutkan pertanyaannya “Terus sekolah kalian bagaimana?”. Mereka menjawab “Libur, kadang satu minggu kadang satu bulan kami libur”. “Makanya kami lupa jam berapa seharusnya masuk sekolah!” jawab salah satu anak. Percakapan ini menumbuhkan kedekatan antara anak-anak ini dengan para pendatang. Namun pada dasarnya para pendatang ini mengunjungi warung untuk menghubungi kerabat di daerahnya dengan membeli layanan wifi disana, sehingga mereka sibuk dengan gadgetnya, hal ini membuat Imang sedikit bosan, dan bergumam “Hmm… membosankan!!” dan kata-kata ini akan sering terdengar pada cerita berikutnya.
Para pendatang terhibur dengan tingkah lugu Imang tersebut dan tertawa terbahak-bahak. Akhirnya mereka mulai bermain “ABC Lima Dasar”, anak-anak ribut memilih kategori yang akan dimainkan, Nama Binatang, Sayuran, Kota, Negara mereka sebutkan sebagai kategori yang dimainkan. Sampai akhirnya keputusan kategori yang digunakan di permainan pertama adalah nama kota. Permainan dimulai dengan mengucapkan “ABC Lima Dasar” dan anak-anak mengulurkan tangan dengan jumlah jari yang dibuka sesuai keinginan mereka. Satu anak menghitung jumlah jari sesuai urutan abjad, dan berhenti di huruf i, “Indramayu” sahut salah satu pendatang, sisa pemain masih kebingungan sampai akhirnya Imang mengutarakan jawabannya “India” dengan penuh percaya diri dia menjawab dengan lantang, sontak para pendatang tersebut tertawa dengan terbahak-bahak. Dan yang lainnya tidak bisa menjawab, mereka meributkan lagi kategori apa selanjutnya, dan hal-hal yang sama disebutkan sampai akhirnya memilih nama Negara. Hal yang sama mereka lakukan, dan berhenti di huruf B, “Brazil”, “Belgia”, “Bolivia” seru beberapa anak menjawab, hanya anak-anak perempuan yang belum menjawab “Bilivia” sahut Fitri, keluguan mereka secara natural keluar seiring keinginan mereka menjawab kategori. Imang hanya menjawab dengan nama-nama yang dia buat sendiri, sampai iya bergumam “Membosankan… kita ganti saja dengan nama-nama orang sini”, dengan kebingungan para pendatang pun menuruti keinginannya.
Namun karena para pendatang tidak mengetahui nama-nama orang di kampung itu, mereka pun tidak bisa menjawab dan membuat anak-anak itu geram dan mencoba memberikan kode-kode ke mereka, “Itu yang rumahnya disana” sahut salah satu anak, “Nama adiknya dia” anak lainnya memberi celah untuk menjawab. Namun para pendatang tidak mengetahui sama sekali nama-nama tersebut. Mereka masih tetap ingin main permainan ini, khususnya Imang walaupun dia merasa bosan dan tidak bisa menjawab juga kesal karena pendatang tidak dapat menjawab kategori nama-nama penduduk Punan Mahkam, mereka melanjutkan dengan kategori lainnya. Imang memberikan saran untuk kategori racun. Pendatang mengira dibisa menjawab kategori ini yang berhenti di huruf G, namun nyatanta jawaban Imang adalah “Gurita diberi racuni” sontak semua orang disana tertawa dengan hal itu. Anak-anak lain meminta ganti kategori menjadi Sayuran yang bisa dimasak, dan berhenti di huruf U, salah satu pendatang menjawab “Ubi”, yang lain masih belum focus karena penuh canda tawa dalam permainan ini, dan dengan nyelenehnya Imang menjawab “Udang”, anak-anak lain berkomentar bahwa udang itu hewan, dengan jelas Imang memberi penjelasan “Udang bisa disayurkan”.

Pendatang itu mengingatkan bahwa hari sudah malam dan alangkah baiknya mereka pulang untuk istirahat. Tapi, Imang bergumam “Hmm… membosankan. Kita main Domikado (salah satu permainan anak-anak) sampai larut, besok kami cuman senam di pendopo”. “Iya betul, senam kupu-kupu pula, ga asik” sahut anak lainnya. Anak lain mengiyakan hal itu, “Tangan sama kaki bisa gerak tapi mata nutup ngantuk gitu”, “Gerakan senamnya itu buat anak kecil ga seru” itu beberapa sahutan anak-anak mengenai senam itu. Imang menjelaskan lebih rinci dengan menyanyikan dan menunjukkan gerakan senam kupu-kupu tersebut. “Hai teman-teman! Hari ini banyak kupu-kupu mau berolah raga” penjelasan Imang mengenai intro lagu pengirim senam, lalu iya mengepakkan tagannya layaknya kupu-kupu, berlanjut kegerakan bebek dan hewan lainnya. “Mana ada kupu-kupu olah raga, aneh kali lagunya, saya benci sama suara anak perempuan di lagu itu” dengan lugunya Imang menjelaskan keanehan lagu senam ini. Lalu iya menjelaskan lagu-lagu senam lainnya “Senamnya ada yang lain, kaya Senam Anak Indonesia, Senam Pakumere (maksudnya Maumere), dan senam lagu… lagu apa ya… oh, lagu… saying opo koe krungu …”, dia melanjutkan penjelasan tentang senam “Tapi senam kupu-kupu, anak Indonesia itu membosankan membuat saya ngantuk. Kalo senam yang pake lagu sayang opo koe krungu itu, gerakannya bikin sakit jantung, karena kaya gini ni…” Imang pun mempraktekkan salah satu gerakannya yang terlihat seperti gerakan Zumba. Akhirnya para pendatang pamit pulang kepada anak-anak tersebut, dan Imang berkata “Besok ikut senam ya!” mengajak para pendatang untuk ikut senam esok hari.
Keesokkan harinya, beberapa anak telah berkumpul di pendopo dari pukul 7 dan mereka bulak-balik ke sekolah dan pendopo menunggu para pendatang keluar dari penginapannya. Sampai akhirnya pukul 8 pendatang keluar dari penginapannya. Imang saat itu sudah ada di pendopo dan mengajak pendatang dan teman-temannya bermain permainan anak-anak, mereka berlarian dan saling menangkap dan menyebutkan nama samaran mereka masing-masing yang dibuat dari nama-nama hewan. Dalam sela-sela permainan, kata yang terucap dari Imang adalah “Membosankan”, entah apa yang dirasakannya, sesaat dia bahagia dan berlari menyelamatkan diri dari temannya yang menjadi pemburu dalam permainan ini dia masih sempat menyebutkan kata-kata itu. Sampai akhirnya seorang guru dengan menggunakan sepeda motor berteriak “Senam di bawah”, maksud guru tersebut adalah senam akan dilakukan di lapangan voli tepat di depan bangunan PAUD. Mereka masih diam duduk di kantor Sekolah Rakyat menunggu pendatang itu mengikutinya ke Lapangan. Tapi pendatang itu tidak bisa melakukukannya, merek mengatakan bahwa mereka akan menyusul kesana. Mereka melakukan senam seperti biasanya sekitar kurang lebih 1 jam. Saat mereka kembali kembali ke sekolah, mereka melalui penginapan para pendatang, salah satu pendatang mendatangi mereka di depan balkon rumah singgah. Imang berkata “Katanya mau ikut senam” dengan gaya bicaranya yang seperti ketus. “Tadi saya lihat ga ada kalian, kalian senam dimana” jawab pendatang tersebut. “Paling cuman tengok dari situ, mana mungkin terlihat” sahut Imang yang langsung berhenti dengan teman-temannya di kantor Sekolah Rakyat dan tidak langsung menuju sekolahnya, seperti merajuk. Akhirnya para pendatang mengajak mereka dengan mengantar mereka ke sekolah. Sebelum mereka memasuki kelas mereka membuat janji untuk bermain voli di sore hari.
Pukul 4 sore anak-anak sudah siap menjemput para pendatang ke lapangan voli. Permainan mereka hanyalah permainan service menyervice, tapi permainan kali ini terdapat dua anak dengan potensi di atas anak-anak lain, Nabire dan Idah, mereka dibagi menjadi dua sama halnya dengan kedua pendatang tersebut. Setiap kedua anak ini melakukan service tak jarang langsung mencetak skor sehingga timnya merasa tidak perlu bermain lagi, saat Nabire melakukan service “Duduk…duduk…duduk…” sahut salah satu anak di tim Nabire, hal yang sama terjadi saat Idah melakukan service. Terkadang anak-anak lain pun dapat mencetak skor saat melakukan service sama hal nya dengan Imang. Menanggapi kebetulan yang membuat dia mencetak skor melalui servicenya, saat giliran dia service lagi, dengan kepercayaan dirinya dia bilang “Duduk…duduk…duduk…”. Semua timnya duduk sesuai permintaannya, namun yang terjadi service dia meleset, sontak semua tertawa dan dia pun ikut tertawa. Canda tawa menyeruak keseluruh lapangan voli, sampai akhirnya hampir sore, anak-anak ini memaksa pendatang itu untuk ikut mandi di sungai dekat dermaga kampung. Mereka pun pergi kesana dengan segera, anak-anak ini memeliki skill berenang yang handal, mereka meloncat dari atas pohon berenang ketengah sungai dan saling bermain air. Salah satu pendatang datang membawa sabun dan shampoo, kebiasaan anak-anak disini tidak membaw alat-alat mandi karena setelah main mereka langsung ke sungai. Akhirnya pendatang ini membagikan sabun dan shampoonya, namun anak-anak ini menolaknya “Ahh… tidak nanti abis sabunnya” keluguan ini menyentuh, mereka memikirkan barang orang lain tidak seperti kebanyakan anak kecil. Pendatang tersebut perlu menyakinkan anak-anak itu bahwa mereka tidak akan membuat sabun dan shampoo itu habis, dan ini cukup lama, sampai mereka yakin dan akhirnya berbaris dengan mengulurkan tangan.
Selesai mereka mandi, mereka mengatur pertemuan lagi untuk malamnya. Malam ini merek lebih banyak mengobrol karena malam ini merupakan malam terakhir mereka bersama di kampung ini. Para pendatang akan pulang kembali ke kotanya. Namun malam itu dan malam sebelumnya serta hari-hari yang mereka lakukan bersama akan selalu terkenang. Keluguan, keceriaan, dan kepercayaan diri dari para generasi penerus Dayak Punan harus tetap dijaga, mereka akan menjadi penerus yang baik dan berguna bagi kampungnya, bangsa dan negara. Pertemuan dengan para pendatang ini mungkin akan terbenam di benak mereka atau mungkin tidak, namun pendatang tersebut yang bermaksud untuk membantu kampung tersebut dalam pengembangan pariwisata kampungnya, yakin bahwa semangat dari kampung ini khususnya dari anak-anak ini akan menjadi nilai posituf yang merek dapat dari perjalanan ini. Semangat mengejar cita-cita mu nak penerus generasi di Kampung Kecil di Tengah Rimba.